Minggu, 25 Oktober 2009

Selamat hari raya kuningan 24 Oktober 2009

 MAKNA HARI RAYA KUNINGAN  


Hari raya ini datangnya sepuluh hari setelah Galungan. Ini adalah hari raya khusus, di mana para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesajen dalam upacara perpisahan untuk kembali ke stananya masing-masing. Sedangkan di pedesaan ada beberapa Barong “ngelawang” beberapa hari diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan / gambelan.
Dalam Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam yang mengingatkan manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda alam. Oleh karena itu melalui perayaan ini umat diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu. Sedangkan endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Perayaan ini juga dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widi Wasa dan mensyukuri karunia-Nya. Melalui perayaan ini umat juga dituntut selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial. Selain itu, melalui rerahinan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya.



APA ITU HARI RAYA KUNINGAN

Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari)
Di hari suci diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Sering juga diyakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Betara kembali ke sorga.
Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.

 
 
 
 
 
Pemain Gambelan  Anak-Anak
 
 
 
 

Selamat Hari raya Galungan 14 Oktober 2009



Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:

Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali. 

Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma
yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep 

 
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh
(Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan. 

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan.
Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.
Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan. 



Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran."
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.


Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama. 


Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma. 


Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.

Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin. 


Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

Makna Penjor Galungan -13 Oktober 2009


Umat Hindu dari jaman dahulu sampai sekarang bahkan sampai nanti dalam menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa memakai symbol-simbol. Dalam Agama Hindu simbol dikenal dengan kata niasa yaitu sebagai pengganti yang sebenarnya. Bukan agama saja yang memakai simbol, bangsa pun memakai simbol-simbol. Bentuk dan jénis simbol yang berbeda namun mempunyai fungsi yang sama.
Dalam upakara terdiri dari banyak macam material yang digunakan sebagai simbol yang penuh memiliki makna yang tinggi, dimana makna tersebut menyangkut isi alam (makrokosmos) dan isi permohonan manusia kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek kehidupan seperti Tri Hita Karana.

Masyarakat di Bali sudah tidak asing lagi dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) jenis penjor, antara lain Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari upacara keagamaan, misalnya upacara galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan pepenjoran atau penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dll. Pepenjoran atau penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll. Penjor sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dll.

Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”.

Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.

Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.

Penjor Galungan adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.
Dilihat dari segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.

Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut :
 “Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting (IB. PT. Sudarsana, 61; 03)
WHD No. 478 Nopember 2006.

Selasa, 20 Oktober 2009

Apa itu Hukum Kasepekang

ISTILAH hukum kadang terasa aneh. Ada istilah tahanan kota, tahanan rumah, tahanan badan. Tahanan rumah semestinya yang ditahan tidak boleh keluar rumah. Tetapi kalau orang kaya yang rumahnya banyak, mereka bisa keluar dari satu rumah untuk menuju rumah lainnya. Pak Harto pernah berstatus tahanan kota, tetapi bisa pergi menengok anaknya di Nusakambangan. Kota bagi Pak Harto begitu luas.
Di Bali, ada istilah hukum adat meskipun tak semua desa adat punya kebiasaan itu yang disebut kasepekang. Ini pun terasa aneh. Batasannya tidak menyangkut badan (ditahan atau disel), dan tidak juga menyangkut rumah (ia bisa keluar rumah sewaktu-waktu) , apalagi menyangkut kota. Ia bisa ke mana saja. Batas dari hukum kasepekang itu adalah mereka dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai sang terhukum membayar kewajiban denda adat.
Konon, di sebuah desa yang memperlakukan hukum adat kasepekang secara keras, warga desa adat itu dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang. Pokoknya sang terhukum ibarat orang sakit gede. Warga adat tak boleh berbicara dengannya, tak boleh menolong orang itu, dan orang yang sedang menjalani hukuman kasepekang tidak mendapatkan pelayanan apa pun dari adat. Pokoknya hubungan putus tuntas- as-tas.
Kalau orang luar Bali mendengar berita ini, akan langsung berkomentar: kejam betul orang Bali. Bahkan, komentar serupa sering muncul di kalangan orang Bali yang sedang merantau.
Tetapi, nanti dulu. Orang Bali tidak kejam kok. Buktinya, mereka toleran benar kepada tamu dan pendatang. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu, wah halus sekali orang Bali. Mana ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat tertentu mengalami kasus kasepekang? Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang berjualan di desa adat tertentu kena kasepekang? Orang Bali itu baik sekali kepada orang non-Bali.
Dulu di desa adat saya ada tiga keluarga pedagang sate ayam asal Madura. Mereka ikut kegiatan desa, apa pun bentuknya, kecuali urusan bersembahyang ke pura. Suatu kali orang Madura itu tak ikut kerja bakti di jalan karena berdagang di kampung tetangga yang sedang ada upacara. Artinya, ia tak bisa bekerja bakti (ngayah) karena mencari peluang untuk mendapatkan rezeki, mumpung ada keramaian. Masyarakat maklum saja, seolah-olah itu tak ada masalah, pekerjaannya memang berdagang.
Lalu, di suatu hari, seorang warga adat Bali dan Hindu tidak ikut ngayah memperbaiki selokan. Alasannya mendadak diminta lembur oleh perusahaannya karena order meningkat. Warga desa banyak yang marah-marah dan ada yang usul agar orang itu kasepekang. Ia harus dihukum, tak berlaku istilah pekerjaannya memang di pabrik.
Untung kepala adat punya wawasan dengan menyebutkan setiap orang punya masalah dengan pekerjaannya dan apa yang disebut ngayah dalam konsep desa adat tak sama dengan kerja paksa. Ngayah itu harus dilihat pula dari unsur tulus dan ikhlas. Manyama-braya dalam lingkup desa adat adalah memahami masalah- asalah yang dihadapi warga desa dan kemudian menerapkan konsep saling asah, saling asih dan saling asuh.
Di desa saya memang tidak ada istilah kasepekang, apa pun kasusnya. Aneh bin ajaib sesama warga desa yang turun-temurun tinggal di desa saling menghukum, sementara dengan pendatang kita begitu tolerannya. Saya tak mengatakan harus mengurangi toleransi dengan pendatang, tetapi saya ingin mengatakan, janganlah sesama orang Bali, apalagi satu agama, saling bertengkar dan mau diadu.
Banyak orang bertanya, kalaupun sekarang ini masih ada desa yang menerapkan kasepekang, kok hal itu masih dianggap berat? Bukankah kasepekang tidak seperti tahanan rumah, tahanan kota dan tahanan badan? Tak ada yang ditahan dan dibatasi. Yang ada hanya sanksi adat, dan itu pun sanksi adat di mana sang terhukum terdaftar sebagai warga adat. Solusinya kan gampang? Keluar saja dari desa adat itu dan mendaftarkan diri di desa adat yang lain. Atau tak usah ikut-ikut desa adat.
Nah, ini bukan soal gampang, ternyata. Karena di Bali adat itu lebih mencengkeram dibandingkan agama. Adat punya sarana yang mengatur hidup mati orang Bali yang beragama Hindu. Soal hidup kaitannya dengan persembahyangan, Pura Kahyangan Tiga terkait dengan adat. Soal mati menyangkut kuburan, yang punya kuburan itu adalah desa adat. Apa mau kita hidup dan mati gentayangan?
Apa tak ada jalan keluar? Pasti ada, lembaga adat jangan kaku dan kuno, harus mengikuti kemajuan zaman. Ini sudah banyak terjadi di Bali, bahkan awig-awig sudah dibuat modern. Namun, jika lembaga adat tetap kaku, lembaga agamalah yang harus mendobraknya. Dirikan Pura Jagatnatha minimal di setiap kota kabupaten, sehingga orang hidup bisa sembahyang tanpa sekat adat. Buatlah kuburan Hindu apakah dalam bentuk krematorium atau tanah biasa, agar orang mati segera bisa diupacarai. Umat Hindu di luar Bali (termasuk yang etnis Bali) sudah menggunakan sarana ini, karena itu mereka tak kenal kasepekang.

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/11/22/bd3.htm


Tragedi ”Kasepekang”
KASUS kasepekang alias pengucilan dari desa adat adalah sebuah tragedi, dan ini hanya ada di Bali. Masyarakat adat lain di Nusantara tak pernah mengenal hukum model begini. Banyak masyarakat Bali yang tak paham, siapa yang seharusnya mengayomi masalah ini. Mereka menumpahkan kekesalannya kepada Parisada yang disebut-sebut tak berbuat untuk masyarakat sehingga muncul kasus kasepekang.
Pada dialog interaktif di Radio Global, beberapa ”vokalis” terus menyalahkan Parisada. Tentu ini salah sasaran, karena kasepekang termasuk kasus adat, bukan kasus agama.
Urusan adat ada yang menanganinya, yakni Majelis Desa Pakraman, sebuah lembaga yang ada kepengurusannya dari tingkat desa (Majelis Desa Pakraman), kecamatan (Majelis Alit Desa Pakraman), kabupaten (Majelis Madya Desa Pakraman) sampai tingkat propinsi (Majelis Utama Desa Pakraman). Syukurlah majelis ini, pada Pesamuan Agung II di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, telah menghasilkan keputusan bahwa sanksi kasepekang tidak boleh diberlakukan lagi.
Memang, banyak orang menyebutkan, adat dan agama di Bali menyatu dan sulit dipisahkan. Tetapi yang mengayomi dan membina adat dan agama itu berbeda. Parisada tak bisa mencampuri urusan adat secara formal, karena Parisada mengurusi agama Hindu di Nusantara yang pemeluknya terdiri atas berbagai adat, ada adat Bali, adat Jawa, adat Batak dan sebagainya. Setiap adat punya aturan yang berbeda, namun jika bicara masalah Hindu, ajarannya sama saja.
Sebagai orang Bali dan pengurus Parisada Pusat, saya sudah lama risau dengan kasus-kasus adat, apalagi ”hukum kasepekang”. Ini hukum di luar norma hukum masyarakat modern. Di dalam masyarakat modern para terhukum menjalani tahanan. Ada istilah tahanan kota, tahanan rumah, tahanan badan. Tahanan rumah tidak boleh keluar rumah. Tahanan kota, tidak boleh keluar kota tetapi boleh keluar rumah. Tahanan badan dimasukkan ke dalam penjara, dan hidupnya berkutat di sana saja.
Kasepekang tidak menyangkut badan, karena tidak ada penahanan. Juga tidak menyangkut rumah karena bisa keluar rumah sebebas-bebasnya. Kasepekang itu adalah yang bersangkutan dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai ‘’sang terhukum” membayar denda adat. Bagi desa yang tergolong ”keras”, krama desa adat dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang. Bahkan yang kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang. Hukum mana di dunia ini yang melarang orang untuk bertegur sapa?
Begitu kejamkah orang Bali? Ternyata tidak. Buktinya, yang terkena ”hukum kasepekang” hanya krama Bali, krama pendatang tidak kena apa-apa. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu, wah… halus sekali penerimaan orang Bali. Mana ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat mengalami kasepekang? Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang berjualan di desa adat kena kasepekang?
Orang Bali itu baik sekali kepada pendatang, trotoar disediakan untuk tempat berjualan para pendatang, padi-padi di sawah diserahkan kepada pendatang untuk memanennya, buruh-buruh bangunan diberikan kepada pendatang. Yang berjualan jagung rebus pun pendatang, orang Bali lebih baik menjadi penganggur. Dan di situlah uniknya, para pendatang tak pernah kena kasus adat, karena mereka dibolehkan untuk tidak menjadi warga adat, sementara orang Bali harus (sekali lagi harus) menjadi warga adat.
Orang Bali, kalau tidak ngayah ke banjar adat kena denda. Dalam batas tertentu mendapat sanksi adat lebih keras, dan puncaknya kasepekang. Kalau itu terjadi, berbahaya, jika suatu saat ada keluarganya yang meninggal dunia tak bisa dikuburkan, setidaknya dipersulit. Ada pun para pendatang tidak perlu ngayah, mereka terus bekerja. Kalau keluarga pendatang itu ada yang meninggal dunia, ya… dikubur sebagaimana layaknya. Banyak ada kuburan umum yang bisa dipakai pendatang, sedangkan orang Bali tak punya kuburan umum. Kuburan di Bali milik adat.
Ketika krama Bali masih hidup dalam budaya agraris, kekangan adat tak jadi masalah, wong sama-sama petani. Ketika pariwisata masuk dan budaya agraris mulai diganti budaya industri, aturan adat jadi masalah. Bagaimana bisa seorang manajer hotel harus ngayah ke pura membuat klakat, sementara dia harus menggelar rapat setiap saat?
Bagaimana bisa eksekutif di bank, atau perusahaan besar, harus pulang ke desa adat untuk ngayah membuat peti mati? Ini salah satu sebab para eksekutif Bali kalah bersaing merebut jabatan menengah ke atas. Padahal ngayah itu bisa diatur jamnya, tak harus bersama-sama. Bukan saatnya lagi kita hanyut dalam kenangan nostalgia namun menghambat profesionalisme. Misalnya, pulang ke desa ngayah membuat tusukan sate dengan meninggalkan pekerjaan penting. Kenapa tidak dikirim saja tusukan sate dan bukankah barang itu bisa dibeli di pasar swalayan?
Saatnya majelis desa pakraman membuat peta permasalahan konflik adat, dengan antisipasi zaman globalisasi. Solusi pemecahan konflik juga harus dibuat. Pasti ada jalan keluarnya. Jangan malu mencontoh adat di luar Bali, termasuk adat orang-orang Bali di rantauan. Orang Bali di luar Bali tak pernah punya kasus adat. Membuat kuburan Hindu (bisa dalam bentuk krematorium seperti di Jakarta) bisa jadi salah satu jalan keluar. Jalan keluar lainnya masih banyak, yang penting mau mencontoh adat yang baik dan mau menerima masukan. Ayo adakan rembuk, malu hanya bisa ngomong ajeg Bali, tetapi dalam praktik Bali dibiarkan merana.


Apa definisi Ngayah Adat

APA difinisi ngayah itu? Seorang tokoh adat menyebutkan, ngayah adalah kerja bakti untuk berbagai keperluan, apakah urusan ritual keagamaan atau pun masalah sosial kemasyarakatan. Kalau sudah disebut sebagai ngayah maka siapa pun yang terlibat tidak mendapatkan upah. Ini kerja gratis.
Namun, tidak demikian untuk krama banjar adat. Menjadi krama banjar adat, kalau tidak ikut ngayah akan kena sanksi berupa denda. Besarnya denda tidak seragam di masing-masing banjar adat. Juga tergantung jenis ngayah itu, apakah memperbaiki lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk dan mengantar ke kuburan saat ada kematian dan sebagainya.
Yang lebih unik lagi, warga adat bukannya takut membayar denda, tetapi takut akan berapa kali kena denda. Jadi, bukan tergantung nilai uangnya, tergantung pada berapa kali absen ngayah. Jika dianggap keterlaluan absennya, meskipun semua denda dibayar, warga adat itu bisa dikucilkan dari krama banjar. Pengucilan pada tingkat yang paling sadis adalah kena kasepekang. Kalau itu terjadi, berbahaya sekali, jika suatu saat ada keluarganya yang meninggal dunia tak bisa dikuburkan, setidaknya dipersulit. Karena kuburan yang ada di desa bukan kuburan umum atau kuburan milik agama, sebagaimana di luar Bali. Kuburan di Bali adalah milik adat.
Beratnya beban adat ini sangat dirasakan oleh warga yang merantau. Bayangkanlah, kalau ngayah itu seringkali dilakukan, warga adat yang mencari nafkah di rantau akan kelabakan. Dia harus memilih, mau pulang ke desanya untuk ngayah atau absen ngayah. Absen ngayah bisa kena denda dan bisa kena sanksi sosial, rajin ngayah bisa kena damprat di tempat kerja karena berarti bolos.
Ketika krama Bali masih hidup dalam budaya agraris, urusan adat seperti ini tak jadi masalah, karena pekerjaannya sama, yaitu petani. Piodalan di pura atau ngayah memperbaiki lingkungan selalu dikaitkan dengan musim tanam. Jadi ada waktu longgar untuk ngayah.
Ketika dunia modern datang, budaya agraris mulai diganti budaya industri, aturan adat jadi masalah. Bagaimana bisa seorang manajer hotel harus ngayah ke pura membuat klakat, sementara dia harus menggelar rapat setiap saat? Bagaimana bisa eksekutif di bank harus pulang ke desa adat untuk ngayah mengantar warga yang meninggal dunia? Ini salah satu sebab para eksekutif Bali kalah bersaing merebut jabatan menengah ke atas.
Untunglah, banyak desa yang sudah punya aturan adat yang bagus. Persoalan ngayah ini disikapi dengan cara-cara modern. Prinsipnya adalah budaya agraris sudah ditinggalkan maka aturan adat yang mengacu kepada budaya agraris harus pula ditinggalkan. Banyak cara untuk menyikapi masalah ini.
Di Denpasar, beberapa banjar adat menerapkan sistem ngayah dengan menyiasati waktu. Kalau ada warga yang meninggal, misalnya, warga adat ngayah mulai pukul lima pagi untuk membuat perlengkapan upacara. Sekitar pukul tujuh semuanya sudah selesai. Jadi warga adat bisa bekerja di kantoran. Ada pun mengantar ke kuburan, tidak dikenakan absensi, jadi bebas mau ikut mengantar atau tidak. Ini tidak mengurangi sisi kekerabatan, karena kalau tidak ikut mengantar, malamnya datang ke rumah duka menyampaikan ucapan belasungkawa sambil membawa bingkisan duka.
Di beberapa desa, hal ini juga sudah dilakukan. Bahkan mulai ada kemajuan dalam hal menyiapkan sarana upacara keagamaan. Dulu warga ngayah membuat klakat, tusuk sate, dan lain-lain. Ibu-ibu juga begitu, ngayah ke pura untuk membuat banten. Sekarang disiasati dengan masing-masing warga dibebani alat-alat upacara. Misalnya, seseorang harus membawa 100 tusuk sate, orang lain membawa 50 klakat. Barang itu harus diserahkan tepat waktu, tak penting bagaimana mereka mendapatkannya. Apakah membuat sendiri malam-malam di rumah, atau memesan kepada orang lain, atau membeli. Bukankah alat-alat seperti ini sudah banyak yang menjualnya? Lihatlah di sepanjang Desa Kapal, perlengkapan upacara apa pun ada yang menjual.
Demikian pula dengan banten. Serati pura sudah menetapkan jenis banten apa saja yang digunakan, lalu dibagi kepada warga adat. Seorang ibu, misalnya, kebagian lima buah daksina, lainnya kebagian sesayut, lainnya lagi kebagian banten pengulapan dan sebagainya. Untuk banten besar bisa dikerjakan gotong-royong berdasarkan letak rumah yang berdekatan. Pada satu saat semua banten ini diserahkan. Jadi, tidak perlu ngayah setiap hari, cukup sekali pada saat matanding banten. Jika seorang ibu sibuk bekerja di kantoran dan tak sempat membuat daksina, misalnya, bukankah barang seperti ini bisa dibeli di pasar? Inilah model penerapan adat dalam budaya modern.
Ada sebuah desa adat yang sama sekali warganya tak pernah ngayah untuk membersihkan pura, tetapi puranya malah tambah bersih dari sebelumnya. Bagaimana menyiasati? Warga urunan untuk biaya pemeliharaan pura. Lalu dicari warga setempat yang bisa bertanggung jawab atas kebersihan pura itu dengan mendapatkan gaji bulanan. Cara modern seperti ini ternyata membuat pura tetap bersih sepanjang saat dan warga pun tidak ngayah. Lagi pula ada anggapan, ngayah untuk membersihkan pura terlalu mubazir karena pekerjaan hanya sekejap, ngobrolnya yang lama. Padahal untuk ngayah itu mengorbankan waktu produktif untuk bekerja. Bukan saja yang bekerja di kantoran, juga warga yang bekerja sebagai pedagang, tukang ojek dan sebagainya.
Terobosan seperti ini harus selalu digulirkan. Tidak usah takut kekerabatan sosial jadi kendor karena ada cara lain untuk tetap manyamabraya. Jika kita terus menerapkan aturan ngayah adat seperti masa lalu, lambat laun Bali ini akan dikuasai oleh para pendatang, yang sama sekali tak terikat oleh ngayah adat.

http://okanila.brinkster.net/raditya/BaliShowfull.asp?ID=229

Rabu, 07 Oktober 2009

Taru Rambut Diatas Makam Keramat Raden Ayu Pemecutan di Sertra Badung Keunikan Bali.


Taru rambut ini tumbuh tepat di pusara atau makam kramat Raden Ayu Pemecutan alias Gusti Ayu Made Rai berada di tengah setra Badung, tepatnya di jalan Gunung Batukaru sekarang. Di bawah sebuah pohon kepuh yang besar, ada sebuah kuburan yang khusus untuk salah seorang keluarga Puri Pemecutan yang bernama Gusti Ayu Made Rai atau Raden Ayu Pemecutan. Bagaimana bisa terjadi adanya taru rambut pada sebuah makam kramat tersebut? Kisah ceritanya adalah sebagai berikut : Tersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja ketika itu mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau sayembara.


Sang raja kemudian mengeluarkan sabda “barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit anak saya, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan dinikahkan dengan putri raja”. Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang didengar oleh seorang syeh (guru sepiritual ) dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Pangeran kemudian dipanggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat ke Bali diiringi oleh empat puluh orang pengikutnya.

Singkat ceritanya, Pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Dalam sayembara ini banyak Panggeran atau Putra Raja yang ambil bagian dalam sayembara penyembuhan penyakit Raden Ayu. Putra-putra raja tersebut ada dari tanah jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten dan tidak ketinggalan Putra-putra Raja dari Tanah Bali. Semua mengadu kewisesan atau kesaktiannya masing-masing dalam mengobati penyakit Raden Ayu. Segala kesaktian dalam pengobatan sudah dikerahkan seperti ilmu penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu guna-guna, ilmu bebai, ilmu sihir, jadi semua sudah dikeluarkan oleh para Pangeran atau Putra Raja, tidak mempan mengobati penyakit dan malah penyakit Raden Ayu semakin parah, sehingga raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita putrinya. Dalam situasi yang sangat mecekam, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat.


Setelah Pangeran melakukan sembah sujud kehadapan Raja Pemecutan dan mohon diijinkan ikut sayembara. Raja Pemecutan sangat senang dan gembira menerima kedatangan Pangeran Cakraningrat dan mengijinkan mengikuti sayembara. Sang Pangeran minta supaya Raden Ayu ditempatkan di sebuah balai pesamuan Agung atau tempat paruman para Pembesar Kerajaan. Pangeran Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan merapal mantra-mantra suci, telapak tangannya memancarkan cahaya putih kemudian berbentuk bulatan cahaya yang diarahkan langsung ke tubuh Raden Ayu. Sakit tuan putri dapat disembuhkan secara total oleh Pangeran Cakraningrat.

Sesuai dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah.

Setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan. Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena (Krudung). Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut, disangka Raden Ayu sedang mempraktekkan ilmu hitam atau ngeleak. Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam.

Patih Kerajaan melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Raja. Dan mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah. Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan Badung. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.” Demikian kata Raden Ayu.


Raden Ayu berpesan kepada Sang patih “jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih (lekesan, Bali). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat”.

Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan beliau. Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.

Pada suatu hari gegumuk (kuburan) Raden Ayu tumbuh sebuah pohon tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon tersebut membuat kuburan engkag atau berbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan Moning, istri dari sedahan Gelogor, dan kemudian tumbuh lagi. Sampai akhirnya yang ketiga kalinya, pohon tersebut tumbuh kembali. Jero sedahan Gelogor bersama Sedahan Moning kemudian bersemedi di hadapan makam tersebut, didapatkan petunjuk agar pohon yang tumbuh di atas kuburan beliau agar dipelihara. Karena melalui pohon tersebut beliau akan memberikan mukjijat kepada umat yang bersembahyang di tempat tersebut. Pohon tersebut konon tumbuh dari rambut Raden Ayu. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh tepat di atas makam tersebut. Pohon itu disebut taru rambut.


Mengenai aci atau upacara yang dipersembahkan dimakam kramat tersebut, bahwa odalannya (pujawali) jatuh pada Redite (Minggu) Wuku Pujut, sebagai peringatan hari kelahiran beliau (otonan). Persembahan (sesaji) yang dihaturkan adalah mengikuti cara kejawen yakni tumpeng putih kuning, jajan, buah-buahan, lauk pauk, tanpa daging babi. Kini makam kramat tersebut banyak dikunjungi oleh para peziarah baik warga muslim untuk nyekar maupun tirakat. Demikian pula dengan warga Hindu banyak yang datang kesana, baik hanya untuk bersembahyang, maupun untuk permohonan tertertentu.