Selasa, 20 Oktober 2009

Apa itu Hukum Kasepekang

ISTILAH hukum kadang terasa aneh. Ada istilah tahanan kota, tahanan rumah, tahanan badan. Tahanan rumah semestinya yang ditahan tidak boleh keluar rumah. Tetapi kalau orang kaya yang rumahnya banyak, mereka bisa keluar dari satu rumah untuk menuju rumah lainnya. Pak Harto pernah berstatus tahanan kota, tetapi bisa pergi menengok anaknya di Nusakambangan. Kota bagi Pak Harto begitu luas.
Di Bali, ada istilah hukum adat meskipun tak semua desa adat punya kebiasaan itu yang disebut kasepekang. Ini pun terasa aneh. Batasannya tidak menyangkut badan (ditahan atau disel), dan tidak juga menyangkut rumah (ia bisa keluar rumah sewaktu-waktu) , apalagi menyangkut kota. Ia bisa ke mana saja. Batas dari hukum kasepekang itu adalah mereka dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai sang terhukum membayar kewajiban denda adat.
Konon, di sebuah desa yang memperlakukan hukum adat kasepekang secara keras, warga desa adat itu dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang. Pokoknya sang terhukum ibarat orang sakit gede. Warga adat tak boleh berbicara dengannya, tak boleh menolong orang itu, dan orang yang sedang menjalani hukuman kasepekang tidak mendapatkan pelayanan apa pun dari adat. Pokoknya hubungan putus tuntas- as-tas.
Kalau orang luar Bali mendengar berita ini, akan langsung berkomentar: kejam betul orang Bali. Bahkan, komentar serupa sering muncul di kalangan orang Bali yang sedang merantau.
Tetapi, nanti dulu. Orang Bali tidak kejam kok. Buktinya, mereka toleran benar kepada tamu dan pendatang. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu, wah halus sekali orang Bali. Mana ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat tertentu mengalami kasus kasepekang? Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang berjualan di desa adat tertentu kena kasepekang? Orang Bali itu baik sekali kepada orang non-Bali.
Dulu di desa adat saya ada tiga keluarga pedagang sate ayam asal Madura. Mereka ikut kegiatan desa, apa pun bentuknya, kecuali urusan bersembahyang ke pura. Suatu kali orang Madura itu tak ikut kerja bakti di jalan karena berdagang di kampung tetangga yang sedang ada upacara. Artinya, ia tak bisa bekerja bakti (ngayah) karena mencari peluang untuk mendapatkan rezeki, mumpung ada keramaian. Masyarakat maklum saja, seolah-olah itu tak ada masalah, pekerjaannya memang berdagang.
Lalu, di suatu hari, seorang warga adat Bali dan Hindu tidak ikut ngayah memperbaiki selokan. Alasannya mendadak diminta lembur oleh perusahaannya karena order meningkat. Warga desa banyak yang marah-marah dan ada yang usul agar orang itu kasepekang. Ia harus dihukum, tak berlaku istilah pekerjaannya memang di pabrik.
Untung kepala adat punya wawasan dengan menyebutkan setiap orang punya masalah dengan pekerjaannya dan apa yang disebut ngayah dalam konsep desa adat tak sama dengan kerja paksa. Ngayah itu harus dilihat pula dari unsur tulus dan ikhlas. Manyama-braya dalam lingkup desa adat adalah memahami masalah- asalah yang dihadapi warga desa dan kemudian menerapkan konsep saling asah, saling asih dan saling asuh.
Di desa saya memang tidak ada istilah kasepekang, apa pun kasusnya. Aneh bin ajaib sesama warga desa yang turun-temurun tinggal di desa saling menghukum, sementara dengan pendatang kita begitu tolerannya. Saya tak mengatakan harus mengurangi toleransi dengan pendatang, tetapi saya ingin mengatakan, janganlah sesama orang Bali, apalagi satu agama, saling bertengkar dan mau diadu.
Banyak orang bertanya, kalaupun sekarang ini masih ada desa yang menerapkan kasepekang, kok hal itu masih dianggap berat? Bukankah kasepekang tidak seperti tahanan rumah, tahanan kota dan tahanan badan? Tak ada yang ditahan dan dibatasi. Yang ada hanya sanksi adat, dan itu pun sanksi adat di mana sang terhukum terdaftar sebagai warga adat. Solusinya kan gampang? Keluar saja dari desa adat itu dan mendaftarkan diri di desa adat yang lain. Atau tak usah ikut-ikut desa adat.
Nah, ini bukan soal gampang, ternyata. Karena di Bali adat itu lebih mencengkeram dibandingkan agama. Adat punya sarana yang mengatur hidup mati orang Bali yang beragama Hindu. Soal hidup kaitannya dengan persembahyangan, Pura Kahyangan Tiga terkait dengan adat. Soal mati menyangkut kuburan, yang punya kuburan itu adalah desa adat. Apa mau kita hidup dan mati gentayangan?
Apa tak ada jalan keluar? Pasti ada, lembaga adat jangan kaku dan kuno, harus mengikuti kemajuan zaman. Ini sudah banyak terjadi di Bali, bahkan awig-awig sudah dibuat modern. Namun, jika lembaga adat tetap kaku, lembaga agamalah yang harus mendobraknya. Dirikan Pura Jagatnatha minimal di setiap kota kabupaten, sehingga orang hidup bisa sembahyang tanpa sekat adat. Buatlah kuburan Hindu apakah dalam bentuk krematorium atau tanah biasa, agar orang mati segera bisa diupacarai. Umat Hindu di luar Bali (termasuk yang etnis Bali) sudah menggunakan sarana ini, karena itu mereka tak kenal kasepekang.

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/11/22/bd3.htm


Tragedi ”Kasepekang”
KASUS kasepekang alias pengucilan dari desa adat adalah sebuah tragedi, dan ini hanya ada di Bali. Masyarakat adat lain di Nusantara tak pernah mengenal hukum model begini. Banyak masyarakat Bali yang tak paham, siapa yang seharusnya mengayomi masalah ini. Mereka menumpahkan kekesalannya kepada Parisada yang disebut-sebut tak berbuat untuk masyarakat sehingga muncul kasus kasepekang.
Pada dialog interaktif di Radio Global, beberapa ”vokalis” terus menyalahkan Parisada. Tentu ini salah sasaran, karena kasepekang termasuk kasus adat, bukan kasus agama.
Urusan adat ada yang menanganinya, yakni Majelis Desa Pakraman, sebuah lembaga yang ada kepengurusannya dari tingkat desa (Majelis Desa Pakraman), kecamatan (Majelis Alit Desa Pakraman), kabupaten (Majelis Madya Desa Pakraman) sampai tingkat propinsi (Majelis Utama Desa Pakraman). Syukurlah majelis ini, pada Pesamuan Agung II di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, telah menghasilkan keputusan bahwa sanksi kasepekang tidak boleh diberlakukan lagi.
Memang, banyak orang menyebutkan, adat dan agama di Bali menyatu dan sulit dipisahkan. Tetapi yang mengayomi dan membina adat dan agama itu berbeda. Parisada tak bisa mencampuri urusan adat secara formal, karena Parisada mengurusi agama Hindu di Nusantara yang pemeluknya terdiri atas berbagai adat, ada adat Bali, adat Jawa, adat Batak dan sebagainya. Setiap adat punya aturan yang berbeda, namun jika bicara masalah Hindu, ajarannya sama saja.
Sebagai orang Bali dan pengurus Parisada Pusat, saya sudah lama risau dengan kasus-kasus adat, apalagi ”hukum kasepekang”. Ini hukum di luar norma hukum masyarakat modern. Di dalam masyarakat modern para terhukum menjalani tahanan. Ada istilah tahanan kota, tahanan rumah, tahanan badan. Tahanan rumah tidak boleh keluar rumah. Tahanan kota, tidak boleh keluar kota tetapi boleh keluar rumah. Tahanan badan dimasukkan ke dalam penjara, dan hidupnya berkutat di sana saja.
Kasepekang tidak menyangkut badan, karena tidak ada penahanan. Juga tidak menyangkut rumah karena bisa keluar rumah sebebas-bebasnya. Kasepekang itu adalah yang bersangkutan dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai ‘’sang terhukum” membayar denda adat. Bagi desa yang tergolong ”keras”, krama desa adat dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang. Bahkan yang kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang. Hukum mana di dunia ini yang melarang orang untuk bertegur sapa?
Begitu kejamkah orang Bali? Ternyata tidak. Buktinya, yang terkena ”hukum kasepekang” hanya krama Bali, krama pendatang tidak kena apa-apa. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu, wah… halus sekali penerimaan orang Bali. Mana ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat mengalami kasepekang? Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang berjualan di desa adat kena kasepekang?
Orang Bali itu baik sekali kepada pendatang, trotoar disediakan untuk tempat berjualan para pendatang, padi-padi di sawah diserahkan kepada pendatang untuk memanennya, buruh-buruh bangunan diberikan kepada pendatang. Yang berjualan jagung rebus pun pendatang, orang Bali lebih baik menjadi penganggur. Dan di situlah uniknya, para pendatang tak pernah kena kasus adat, karena mereka dibolehkan untuk tidak menjadi warga adat, sementara orang Bali harus (sekali lagi harus) menjadi warga adat.
Orang Bali, kalau tidak ngayah ke banjar adat kena denda. Dalam batas tertentu mendapat sanksi adat lebih keras, dan puncaknya kasepekang. Kalau itu terjadi, berbahaya, jika suatu saat ada keluarganya yang meninggal dunia tak bisa dikuburkan, setidaknya dipersulit. Ada pun para pendatang tidak perlu ngayah, mereka terus bekerja. Kalau keluarga pendatang itu ada yang meninggal dunia, ya… dikubur sebagaimana layaknya. Banyak ada kuburan umum yang bisa dipakai pendatang, sedangkan orang Bali tak punya kuburan umum. Kuburan di Bali milik adat.
Ketika krama Bali masih hidup dalam budaya agraris, kekangan adat tak jadi masalah, wong sama-sama petani. Ketika pariwisata masuk dan budaya agraris mulai diganti budaya industri, aturan adat jadi masalah. Bagaimana bisa seorang manajer hotel harus ngayah ke pura membuat klakat, sementara dia harus menggelar rapat setiap saat?
Bagaimana bisa eksekutif di bank, atau perusahaan besar, harus pulang ke desa adat untuk ngayah membuat peti mati? Ini salah satu sebab para eksekutif Bali kalah bersaing merebut jabatan menengah ke atas. Padahal ngayah itu bisa diatur jamnya, tak harus bersama-sama. Bukan saatnya lagi kita hanyut dalam kenangan nostalgia namun menghambat profesionalisme. Misalnya, pulang ke desa ngayah membuat tusukan sate dengan meninggalkan pekerjaan penting. Kenapa tidak dikirim saja tusukan sate dan bukankah barang itu bisa dibeli di pasar swalayan?
Saatnya majelis desa pakraman membuat peta permasalahan konflik adat, dengan antisipasi zaman globalisasi. Solusi pemecahan konflik juga harus dibuat. Pasti ada jalan keluarnya. Jangan malu mencontoh adat di luar Bali, termasuk adat orang-orang Bali di rantauan. Orang Bali di luar Bali tak pernah punya kasus adat. Membuat kuburan Hindu (bisa dalam bentuk krematorium seperti di Jakarta) bisa jadi salah satu jalan keluar. Jalan keluar lainnya masih banyak, yang penting mau mencontoh adat yang baik dan mau menerima masukan. Ayo adakan rembuk, malu hanya bisa ngomong ajeg Bali, tetapi dalam praktik Bali dibiarkan merana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar